Saya pertama kali menetapkan impian terbesar saya ketika saya berusia 13 tahun. Pada saat itu, ketika liburan kenaikan kelas 2 SMP, saya mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Amerika Serikat karena kalahdalam kompetisi bercerita dalam bahasa Inggris. Ya, KALAH, saya tidak salah tulis. Pada kompetisi tersebut, pada awalnya saya meraih peringkat pertama dari tingkat sekolah hingga Jakarta Selatan. Namun apa daya, ketika tingkat DKI Jakarta, saya yang waktu itu masih kelas 1, tanpa didampingi guru satupun, dan lagi mendapatkan nomor urut tampil pertama…akhirnya tidak mendapat satupun peringkat juara.
Alhamdulillah, ayah saya, yang pada saat itu, pertama kalinya mengantar saya ke kegiatan sejenis, merasa tersentuh. Beliau pada saat itu merasa bangga akan penampilan saya, walaupun saya tidak memenangkan satupun peringkat juara. Beliau kemudian mengusahakan agar saya dapat mengikuti paket perjalanan wisata mengunjungi Amerika Serikat selama kurang lebih 1 bulan, dengan 1 syarat. Syarat tersebut adalah saya harus pergi tanpa didampingi keluarga satupun.
Pada saat itu saya nekad memberanikan diri untuk mengambil tantangan tersebut. Kesempatan mengunjungi Amerika Serikat, benar-benar merupakan pengalaman berkesan bagi saya. Pengalaman tersebut sangat membuka wawasan saya mengenai kemajuan yang mereka telah capai. Pada saat itulah saya menetapkan bahwa suatu waktu kelak, saya harus kembali ke negara maju seperti Amerika Serikat, untuk menuntut ilmu. Saya menghabiskan waktu sekitar 8 tahun untuk meniti jalan dan membangun kesiapan diri saya untuk mencapai impian tersebut. Saya berusaha keras meningkatkan kemampuan bahasa Inggris, mencari berbagai informasi yang berhubungan dengan peluang studi ke luar negeri dan membangun kemandirian yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan berhasil di luar negeri.
Kesempatan tersebut datang mengetuk ketika saya berada di tahun keempat masa kuliah di Fakultas Psikologi UNPAD. Ketika itu, saya berhasil lolos menjadi kandidat peserta pertukaran pemuda yang diselenggarakan DepDikNas (DikBud saat itu). Sayangnya beberapa kejadian non teknis membuat peluang tersebut tidak dapat saya raih (sebuah cerita yang saya simpan untuk kesempatan lain). Kejadian ini sempat membuat saya tertekan, namun Alhamudulillah, saya tidak
berlarut-larut dalam masalah tersebut.
Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan, peluang berikutnya bagi saya untuk belajar di luar negeri adalah dengan meraih beasiswa. Ada beberapa cara yang akan dapat membuat peluang saya meraih beasiswa menjadi besar. Pertama adalah dengan meraih prestasi akademis yang baik (diindikasikan dengan IPK minimal 3,0). Sayangnya prestasi akademis saya kurang dapat dibanggakan. Kedua, adalah dengan menjadi staf pengajar atau pegawai negeri. Saya kurang tertarik dengan gagasan keterikatan seperti itu di usia saya yang masih relative muda. Cara yang terakhir adalah dengan terlibat secara aktif dalam kegiatan sosial atau profesional selama kurang lebih 2 tahun.
Saya mencoba mengumpulkan pengalaman kerja di sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang kreatif dan IT. Namun, Allah berkehendak lain, pada akhir 2004, sebuah bencana besar terjadi di Sumatera Utara dan NAD. Terpanggil untuk menyumbangkan hasil pendidikan saya dan mempertimbangkan bahwa pengalaman tersebut juga akan membantu mengembangkan diri saya untuk meraih beasiswa, saya mendaftarkan diri sebagai relawan Pusat Krisis Psikologi Universitas Indonesia.
Setelah melalui serangkaian proses pembekalan dan seleksi, pada bulan Februari saya diberangkatkan untuk menjadi tenaga psikososial di sebuah desa dekat kota Meulaboh. Pada awal keberangkatan, saya memang niatnya hanya untuk membantu dan mengumpulkan pengalaman bekerja sosial.
Namun, setibanya di sana, ternyata saya dituntut untuk menjadi pekerja kemanusiaan semi profesional yang melayani kebutuhan dukungan psikososial masyarakat yang terkena dampak bencana. Saya ditempatkan di bawah pengelolaan manajemen Kementrian Pemberdayaan Perempuan, dalam program yang disebut Children Center (sebuah program tanggap darurat perlindungan anak hasil kerja sama UNICEF dengan pemerintah RI).
Pengalaman 7 bulan pertama benar-benar menantang, kami harus tinggal di tenda dekat dengan lokasi barak pengungsi. Hampir selama 24 jam setiap hari dalam 1 minggu kami melayani semua kebutuhan pengungsi anak dan keluarganya. Kami menyediakan bantuan nutrisi, usaha pelacakan anak yang terpisah dan dukungan psikologis bagi masyarakat yang terkena dampak bencana tersebut.
Selama 7 bulan tersebut, saya juga membangun jaringan dengan sesama lembaga kemanusiaan, LSM dan lembaga PBB yang memangku tanggung jawab mengkoordinasikan usaha tanggap darurat, di lokasi saya kebetulan UNICEF. Kemampuan bahasa Inggris saya, membuat saya diposisikan untuk mewakili kelompok saya setiap kali mengikuti pertemuan koordinasi dengan UNICEF.
Pada bulan Agustus, saya direkomendasikan untuk dipindahkan ke tingkat propinsi, di kota Banda Aceh. Selama kurang lebih 4 bulan, saya bertanggung jawab untuk membantu koordinator program (staf Kementrian Pemberdayaan Perempuan) untuk mengelola keseluruhan program Children Center di provinsi NAD. Saya membantu pengelolaan kegiatan, pelatihan staf, koordinasi staf dan koordinasi dengan UNICEF Banda Aceh dan lembaga-lembaga internasional lain. Pada kurun waktu inilah, saya berhasil membangun jejaring yang kuat dengan staf lembaga internasional yang aktif di kegiatan kemanusiaan di Aceh.
Pada akhir masa kontrak saya, UNICEF menawari saya untuk bekerja langsung pada mereka untuk mengkoordinasikan suatu proyek. Saya menerima tawaran tersebut. Saya mulai bekerja dengan UNICEF pada bulan Mei 2006. Pada saat ini, tanggung jawab saya lebih besar, karena saya melapor langsung pada beberapa lembaga yang bertanggung jawab mengkoordinasikan program perlindungan anak, khususnya pelayanan psikososial dan kesehatan mental.
Sejak akhir tahun 2005, saya sudah mulai mencari peluang untuk memanfaatkan pengalaman saya selama ini, untuk mendapatkan beasiswa. Pada bulan Januari, seorang kawan memberikan informasi mengenai peluang beasiswa dari British Council, untuk mengambil studi pasca sarjana dalam bidang Hak Asasi Manusia di Inggris. Saya merasa bahwa peluang ini sesuai dengan pengalaman yang telah saya bangun, sehingga saya memberanikan diri mengirimkan formulir aplikasi dan persyaratan yang diminta.
Pada hari ulang tahun saya, di tengah hutan yang sulit mendapatkan sinyal telepon, saya mendapatkan telepon dari British Council Jakarta. Mereka mengundang saya untuk mengikuti proses wawancara. Saat itu, saya merasa bahwa itu merupakan hadiah ulang tahun terbaik saya, bahkan bila saya tidak benar-benar lolos dari seleksi wawancara. Bukan rahasia lagi, bahwa British Council sangat selektif dalam pemberian beasiswa dan kejadian menerima kabar tersebut di tengah hutan di Aceh benar-benar seperti sebuah mukjizat pada saat itu.
Singkat cerita, saya akhirnya melewati proses wawancara tersebut. Saya kemudian menerima panggilan lagi pada bulan Juni, untuk mengikuti tes IELTS. Pada bulan Juli, saya menerima kabar bahwa saya mendapatkan hasil yang memadai untuk menerima tawaran beasiswa tersebut. Bulan Agustus lalu, saya mengikuti kegiatan orientasi akademik selama 1
bulan di Istanbul, Turki.
Sekarang saya sedang menjalani persiapan akhir sebelum akhirnya akan berangkat pada tanggal 30 bulan ini. Setelah melalui proses yang cukup panjang dan berliku, saya akhirnya dapat meraih salah satu impian saya. Saya sendiri tidak membayangkan kejadiannya akan seperti ini dan saya bersyukur pada Allah akan kesempatan ini. Semua kelelahan dan cobaan yang telah saya lalui, seperti tidak berbekas bila dibandingkan dengan perasaan gembira menanti dimulainya studi saya.
Saya telah mengejar impian saya dan sekarang selangkah lebih dekat untuk meraihnya. Bagaimana dengan impian Anda?
Kamis, 09 November 2006
Fajar Anugerah: Mengejar Impian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar