Memilih pemimpin tidaklah sembarangan karena ia akan menentukan nasib kita sebagai rakyat yang dipimpinnya. Jika pemimpinnya baik, maka kita sebagai rakyat juga akan juga menjadi baik. Namun jika pemimpinnya buruk, maka sudah pasti akan berimbas buruk pula pada kita sebagai rakyatnya.
Saya tertarik dengan anekdot berikut ini :
Ada seorang ahli robot yang berhasil menciptakan robot manusia pendeteksi kebohongan. Cara kerja robotnya adalah dengan menampar muka siapa saja yang berbicara bohong di depannya.
Ahli robot ini memiliki istri dan seorang anak laki-laki yang duduk di bangku SMA. Suatu waktu, anaknya pulang larut malam. Dengan marahnya, sang ahli robot memanggil anaknya berdiri di depan robot dan mulailah ia menginterogasi anaknya sambil mengancam untuk tidak berbohong karena akan ketahuan dengan tamparan robotnya.
Ia mulai bertanya: “Kamu dari mana?” Anaknya menjawab bahwa dia dari rumah teman. Robotnya diam tanpa reaksi. Sang ahli robot bertanya lagi: “Kamu kerja apa di sana? Anaknya menjawab: “Menonton film”. Robotnya masih diam. “Film apa? Tanya ayahnya. Anaknya menjawab: “Film perjuangan”. ”Plaaak....”. Robotnya tiba-tiba menampar muka anak itu. Dengan marahnya, sang ayah yang ahli robot, mencaci maki anaknya bahwa dia sudah berbohong. ”Sekarang kamu jujur saja, film apa?” Tanya ayahnya dengan suara tinggi. Anaknya menjawab: ”Film porno ayah”.
Ayahnya tambah marah dan semakin membentak anaknya dengan mengatakan: ”Kamu mau jadi apa, lihat ayah yang selama hidupnya tidak pernah menonton film porno!”. ”Plaak....., rupanya robot hasil ciptaannya berbalik ke arahnya dan menampar mukanya karena dia juga berbohong”. Saat itu pula keluar istrinya dari kamar yang mendengar suara ribut.
Dan istrinya lalu dengan muka marah, menyalahkan suaminya dengan berkata: ”Apa apaan ayah ini, kamu menyiksa anak ini. Bagaimanapun, anak ini adalah anak ayah juga!” ”Plaak....,” Robot itu langsung menampar pula muka istrinya yang menandakan bahwa dia juga berbicara bohong tentang anak yang dilahirkan yang sebenarnya adalah hasil selingkuhan.
Anekdot ini memang sekadar anekdot yang tidak terjadi dalam dunia nyata tentang robot yang bisa bergerak sendiri menampar orang yang berbohong. Namun anekdot ini telah menyajikan drama tentang anggota keluarga yang semuanya sudah terjangkiti perilaku bohong. Anak berbohong pada ayahnya. Ayah membalas dengan kebohongan lain, dan istrinya juga menyampaikan sesuatu yang mengandung kebohongan. Naudzubillahi Mindzaliq.
Anekdot di atas menyampaikan pesan moral tentang sesuatu yang nyata dalam kehidupan saat ini. Ia bukan saja menyampaikan pesan tentang sebuah keluarga yang penuh kebohongan, tetapi kecenderungan terjadinya prilaku kebohongan pada orang dari berbagai sisi-sisi kehidupan tanpa pandang bulu. Mari mencermati perilaku anak bangsa mulai dari orang-orang kecil sampai orang-orang besar, mulai dari profesi biasa sampai profesi luar biasa, mulai dari mereka yang memang rentan dengan dosa sampai pada mereka yang dianggap suci.
Pernahkah anda membeli langsat atau buah yang dijual perkilo dipinggir jalan? Anda pasti yakin kalau anda membeli jumlah yang jauh dari ukuran yang disebut penjualnya. Percayakah anda bila seorang penjual barang di pasar saat anda menawarnya dan ia mengatakan itu baru modalnya?
Di sektor kehidupan politik, pecayakah anda pada janji-janji pembangunan di saat jalan-jalan di dekat rumah anda pada berlubang, sampah bertebaran di mana-mana, peminta-minta makin berkeliaran, pelayanan publik bermutu rendah, sementara banyak elite yang hidupnya bergelimang dengan fasilitas dan kemewahan? Percayakah anda efektivitas zikir massal, tablig akbar, kerja para spritualis yang semuanya diadakan hanya untuk pemenangan politik dibanding dengan kerja nyata dan kesungguhan kerja yang tulus untuk rakyat?
Percayakah anda pada kesucian banyak orang di negara dengan simbol agama yang kuat di saat ’candoleng-doleng’ semakin mendapatkan pasar, dan di saat kehidupan malam di sudut-sudut kota semakin kedap kedip. Siapa yang akan mengambil manfaat dari semua itu?
Di sektor pembangunan fasilitas rakyat, percayakah anda bahwa orang-orang yang menjadi perantara untuk sampai pada tempat dimana uang itu dipakai membangun tidak menyunatnya untuk keperluan dirinya? Apakah pembaca percaya bahwa beberapa politikus yang menjadi ’calo’ dana APBN hanya sejumlah seperti yang terkena kasus selama ini?
Apa yang terjadi dibenak anda saat dana untuk pencetakan kitab suci pun dikorupsi? Bagaimana lagi dengan barang-barang lain yang tidak memiliki label suci? Apa yang terjadi dengan diri anda di saat anda patuh membayar pajak sebagai keingingan untuk menjadi warga negara yang baik, tetapi ramai-ramai mereka mengorupsi dana yang dari rakyat dan untuk rakyat itu?
Percayakah anda bila mereka yang tersandung kasus pajak itu hanya sejumlah yang selama ini dikenal? Apakah dengan cara ini sehingga bisa memahami mengapa petinggi sebuah ormas besar pernah mewacanakan untuk berhenti membayar pajak?
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah secuil dari lingkaran kebohongan yang sudah menggorogoti bangsa ini, persis dengan analogi keluarga pada anekdot di atas yang semua anggotanya sudah dikooptasi oleh kebohongan. Merujuk pada anekdot di atas, Cara terbaik untuk keluar dari pusaran kebohongan adalah memimpikan untuk benar menemukan ’robot pendeteksi kebohongan’ bangsa dan operatornya harus terbebas dari perilaku suka berbohong bukan seperti pembuat robot di atas.
Jadi tugas kita sebagai rakyat sederhana adanya, memilih tipe pemimpin yang tidak suka berbohong. Karena dengan kapasitas itu, ia dengan percaya diri mengoperasikannya bila suatu saat memiliki ’robot pendeteksi kebohongan’.
0 komentar:
Posting Komentar